• Dalam beberapa dekade terakhir, diplomasi publik telah menjadi instrumen penting dalam hubungan internasional, khususnya bagi Cina. Buku "Diplomasi Publik Cina ke Indonesia Di Era Presiden Hu Jintao dan Presiden Xi Jinping" hadir untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana Cina memanfaatkan diplomasi publik untuk memperkuat hubungannya dengan Indonesia selama masa pemerintahan kedua presiden ini. Pada era Presiden Hu Jintao, hubungan Cina-Indonesia mengalami peningkatan pesat dengan fokus pada kerjasama ekonomi dan perdagangan, sementara di era Presiden Xi Jinping, inisiatif besar seperti Belt and Road Initiative (BRI) memainkan peran penting dalam memperkuat pengaruh Cina di Indonesia.
  • Dalam dunia yang semakin terhubung dan saling ketergantungan ini, energi menjadi salah satu faktor kunci yang menggerakkan dinamika geopolitik global. Buku "Geopolitik Energi Norwegia: Tuduhan War Profiteering dalam Ketegangan Rusia-Uni Eropa" hadir untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai peran Norwegia dalam lanskap energi Eropa dan bagaimana dinamika ini dipengaruhi oleh ketegangan antara Rusia dan Uni Eropa. Buku ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai tuduhan terhadap Norwegia terkait dugaan war profiteering dalam situasi yang kompleks dan sarat kepentingan politik ini.
  • Buku ini berfokus pada tiga tema sentral; ASEAN, Poros Maritim Dunia, dan krisis kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar. Ada alasan tersendiri mengapa penulis membahas tiga hal tersebut. Pertama, ASEAN merupakan sokoguru politik luar negeri Indonesia. Komitmen terhadap ASEAN sudah menjadi keharusan bagi setiap pemimpin. Di era kepemimpinan Presiden Jokowi, komitmen ini mula-mula tidak muncul lantaran kuatnya corak pragmatis kebijakan luar negeri Jokowi. Namun di periode kedua pemerintahannya, Jokowi mulai menganggap ASEAN penting sehingga peran kepemimpinan regional Indonesia kembali pulih. Kedua, gagasan Poros Maritim Dunia penting dibahas karena doktrin ini menjadi ujung tombak strategi besar kebijakan luar negeri Jokowi, khususnya di periode pertama. Gagasan ini canggih, visioner namun aplikatif. Artinya, Poros Maritim Dunia bukan sekadar jargon. Ironisnya, gagasan ini lenyap begitu saja ketika Jokowi memerintah Indonesia untuk kedua kalinya. Hal ini menuntut penjelasan. Ketiga, isu Rohingya menarik dikaji karena menguji komitmen Indonesia sebagai pencipta perdamaian serta pemimpin kawasan. Setiap rezim umumnya memiliki corak kebijakan luar negeri masing-masing, yang seringkali malah bertolakbelakang satu sama lain. Menariknya, baik kebijakan luar negeri Yudhoyono maupun Jokowi sama-sama menaruh perhatian serius terhadap isu Rohingya. Artinya, tentu ada faktor yang membuat kedua rezim berkomitmen terhadap isu tersebut. Ini juga menuntut penjelasan.
  • Dalam era perubahan iklim global dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan, diplomasi hijau atau green diplomacy muncul sebagai instrumen penting dalam hubungan internasional. Buku "Green Diplomacy in Action: Diplomasi Lingkungan Amerika Serikat-Indonesia melalui Skema Debt for Nature Swap" bertujuan untuk mengupas tuntas bagaimana kedua negara menjalin kerja sama dalam upaya konservasi lingkungan melalui mekanisme inovatif yang dikenal sebagai debt for nature swap. Buku ini tidak hanya menggambarkan kerangka kerja diplomasi hijau tersebut, tetapi juga menyoroti keberhasilan, tantangan, dan dampak dari implementasinya.
  • Buku ini mengulas perkembangan konsep masyarakat sipil global, suatu entitas yang berperan sebagai agen perubahan dan pengawasan di dunia yang semakin saling terhubung. Di tengah pengaruh besar negara-bangsa, masyarakat sipil global menjadi aktor yang tidak hanya berfungsi mengawasi tetapi juga mampu menggerakkan agenda-agenda normatif seperti hak asasi manusia, keadilan lingkungan, dan perubahan kebijakan global. Pembahasan dalam buku ini mencakup teori-teori dasar dalam hubungan internasional yang mengalami pergeseran dari pendekatan realis yang berfokus pada kepentingan negara ke arah pendekatan konstruktivis yang mengedepankan peran norma dan nilai-nilai etis. Sejalan dengan perkembangan masyarakat sipil global, buku ini membahas peran organisasi non-pemerintah (NGO) dan aktor-aktor non-negara lainnya yang kini menjadi bagian integral dalam mendorong kebijakan-kebijakan internasional yang lebih adil dan bertanggung jawab secara moral. Dalam konteks isu-isu global seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia, masyarakat sipil global membawa perspektif baru yang mengusung nilai-nilai universal. Buku ini juga menjabarkan contoh-contoh nyata, seperti kampanye anti-ranjau darat dan pelarangan senjata nuklir, yang menunjukkan bahwa NGO mampu menggerakkan perubahan besar dalam kebijakan internasional meski tanpa kekuasaan formal.
  • Buku ini hadir sebagai respons terhadap tantangan global yang semakin meningkat dalam hal perubahan lingkungan dan dampaknya terhadap tata kelola internasional. Dalam beberapa dekade terakhir, perubahan lingkungan global (Global Environmental Change) telah menjadi salah satu isu utama dalam kajian Hubungan Internasional. Oleh karena itu, buku ini berupaya memberikan perspektif komprehensif mengenai bagaimana tata kelola lingkungan di era globalisasi dapat dihadapi dengan cara yang lebih inklusif dan berkelanjutan, terutama melalui lensa gender. Bab pertama buku ini membahas latar belakang kemunculan kajian Hubungan Internasional modern dan pergeserannya menuju isu-isu lingkungan global. Pendekatan ini bertujuan memahami tantangan yang dihadapi oleh sistem politik internasional dalam merespons krisis lingkungan global. Bab-bab selanjutnya menyajikan analisis mendalam tentang teori-teori tata kelola lingkungan, termasuk pendekatan normatif yang menempatkan keamanan lingkungan sebagai nilai global. Kami mengeksplorasi bagaimana kerjasama internasional dapat difasilitasi dalam mengatasi masalah lingkungan, seperti perubahan iklim dan polusi, serta bagaimana keamanan lingkungan mulai diakui sebagai bagian integral dari kebijakan keamanan internasional​​. Melalui perspektif gender, buku ini juga menyoroti peran perempuan dalam pelestarian lingkungan, yang sering kali diabaikan dalam diskusi-diskusi kebijakan publik. Bab khusus mengenai ekofeminisme menjelaskan bagaimana perempuan di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, memainkan peran kunci dalam menjaga sumber daya alam dan mendorong keberlanjutan​.
  • Penulisan buku ini berangkat dari ketertarikan penulis mengingat banyaknya pihak yang skeptis terhadap efektivitas diplomasi perdamaian tersebut. Penulis mencoba menawarkan cara pandang yang berbeda dari kebanyakan khalayak dalam melihat diplomasi internasional. Apabila dihadapkan pada efektivitas diplomasi, kebanyakan orang pasti melihat hasil akhirnya (output); yaitu apakah diplomasi itu berhasil mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Apabila tujuan tercapai, maka diplomasi itu dikatakan berhasil. Sebaliknya, apabila tidak ada hasilnya, maka secara otomatis akan dicap gagal. Dalam konteks ini, penulis beranggapan bahwa diplomasi internasional tidak hanya tentang strategi, yakni bagaimana mencapai hasil yang diinginkan – dalam konteks perang Rusia-Ukraina adalah perdamaian kedua pihak – tetapi juga tentang proses, yakni bagaimana suatu negara konsisten menjalankan kebijakan luar negerinya berdasarkan prinsip tertentu. Karena itu, penulis beranggapan bahwa diplomasi Indonesia ke Ukraina dan Rusia dapat dikatakan berhasil dalam hal konsistensi Indonesia memainkan perannya sebagai ‘peacemaker’. Sebagai negara middle power, peran tersebut terbukti sudah cukup baik dijalankan oleh pemerintahan Jokowi.
  • Karya ini lahir sebagai wujud rasa syukur Tim penulis dalam menyaksikan kedigdayaan Tuhan atas limpahan nikel di perut bumi Indonesia. Nikel menjadi komoditas primadona yang diburu bangsa lain, sedangkan keberlimpahan di negeri sendiri tetap ada batasnya. Eksistensi nikel ini lantas mampu menimbulkan semacam “kutukan” apabila tidak didayagunakan secara efektif dan maksimal. Eksploitasi nikel tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan perlu memenuhi aspek keberlanjutan serta tidak boleh meninggalkan prinsip keselarasan dalam Pancasila. Nikel sebagai komoditas primadona di mata dunia dalam kacamata yang lebih luas dapat dikaji dari sudut pandang trilema energi hingga perdagangan dan diplomasi global. Oleh sebab itu, buku ini menyediakan analisis yang kompleks dan menyeluruh terkait apapun yang Anda butuhkan untuk membedah eksistensi nikel. Sejarah, perkembangan industri nikel di Indonesia, instrumentalisasi diplomasi global untuk menyokong konstelasi nikel Indonesia di pasar global, upaya mencapai aspek keberlanjutan dalam mengeksploitasi nikel, hiruk pikuk konflik nikel di Indonesia hingga nilai-nilai Pancasila yang secara implisit mampu kita temukan dari komoditas nikel itu sendiri. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat menjadi media untuk membuka cakrawala pembaca dari segala latar belakang guna bersama-sama memahami, menyadari, mengakui, dan peduli terhadap realitas dari nikel Indonesia. Cambuk pedas rantai globalisasi yang berusaha mencaplok nikel Indonesia di era globalisasi ekonomi ini begitu terasa implikasinya ketika Uni Eropa harus turun tangan untuk menyelamatkan kepentingannya, tanpa dapat mengelak bahwa terdapat juga ketergantungan negara adidaya terhadap berkelimpahannya nikel dalam negeri. Oleh sebab itu, Tim penulis juga berharap pembaca dari seluruh kalangan mampu menyadari bahwa perlu dijaganya nikel Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia agar tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan bangsa asing.
  • Terjadinya Perang Korea di tahun 1950 hingga 1953 merupakan salah satu dampak dari Perang Dingin, di mana perang tersebut telah menimbulkan persaingan ideologi antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet (Cahyo, 2012). Melalui adanya persaingan antara kedua blok tersebut telah memberikan dampak yang cukup besar di beberapa kawasan, khususnya Asia Timur di mana telah terjadinya perebutan wilayah kekuasaan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di Semenanjung Korea yang menimbulkan perpecahan Korea. Korea Utara sendiri telah menjadi negara sosialis yang dipimpin oleh Kim Il Sung dan didominasi oleh Blok Timur. Sementara, Korea Selatan telah didominasi oleh pengaruh dari Blok Barat dan menjadi negara kapitalis.
  • Buku ini dirancang untuk memberikan panduan praktis kepada mahasiswa Hubungan Internasional (HI) tingkat sarjana dalam penulisan skripsi. Karya sejenis sebenarnya sudah banyak ditulis. Namun, jarang yang secara spesifik memberikan tuntunan praktis yang berfungsi seperti buku pedoman penulisan skripsi. Meskipun tiap-tiap kampus memiliki aturan berbeda-beda tentang standar penulisan skripsi, namun secara garis besar substansi penulisan skripsi bisa dikatakan seragam di mana pun. Perbedaan barangkali hanya pada sistematika penulisan, sedangkan bagian-bagian utama dari skripsi sama saja antara kampus satu dan kampus lainnya.
  • Krisis energi yang melanda dunia beberapa dekade terakhir telah menempatkan banyak negara, termasuk Korea Selatan, dalam posisi yang menantang. Mereka harus menyeimbangkan antara kebutuhan akan keamanan energi, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan ekonomi. Melalui buku ini, penulis berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial mengenai bagaimana Korea Selatan menggunakan diplomasi energinya untuk mengatasi tantangan ini, serta bagaimana kebijakan Green New Deal berperan dalam merancang masa depan energi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
  • Karya ini adalah upaya menafsirkan kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya di masa pemerintahan Presiden Jokowi, dari perspektif konstruktivisme. Penulis sengaja memilih topik ini karena tak banyak karya sejenis di khasanah literatur berbahasa Indonesia. Mayoritas karya yang pernah ditulis cenderung memakai konsep diplomasi middle power. Penulis beranggapan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia terlalu kompleks jika dianalisis hanya menggunakan konsep itu. Karya ini, dengan demikian, berupaya keluar dari kejenuhan intelektual di kalangan akademisi di Indonesia yang mendiskusikan kebijakan luar negeri Indonesia.
Go to Top